Minggu, 13 November 2011

Ki Ageng Mangir

Saat Panembahan Senopati bertahta di Mataram, banyak pemimpin daerah yang membangkang, menolak mengakui hegemoni Mataram. Salah satunya adalah Ki Ageng Mangir yang memimpin tanah Perdikan Mangir di tepi Sungai Progo (sekarang masuk kecamatan Srandakan, Bantul). Ini seakan menjadi bisul bagi Panembahan Senopati yang telah bertekad menguasai sepenuhnya Mataram.
Maka Panembahan Senopati bermaksud melakukan duel untuk menentukan siapakah yg paling berhak berkuasa di Mataram. Penyelesaian khas laki-laki. Panembahan Senopati yang seorang raja ‘tulen’, naik tahta bukan karena hadiah tapi karena memang punya daya linuwih, tak ragu untuk bertarung dengan Ki Ageng Mangir yang juga digdaya. Tombak Kiai Baru Klinthing dan pengaruh Ki Ageng Mangir yang kuat di Mangiran begitu membuat hasrat bertarung Sang Raja menggebu-gebu.
Tapi Sang Patih, Ki Juru Martani berpendapat lain. Ki Ageng Mangir dianggapnya bukan level Panembahan Senopati. Kalaupun Panembahan Senopati menang, itu hal yang lumrah saja. Bukankah Panembahan Senopati memang seorang raja? Lalu bagaimana kalau sampai kalah? Taruhannya terlalu besar. Menang ora kondhang, kalah dadi wirang. Ki Juru Martani menawarkan jalan yg lebih halus, sedikit berliku, tapi licik.
Maka digelarlah suatu operasi intelijen, Sekar Pembayun-putri Sang Raja-menyamar menjadi penari keliling/ledhek. Misi operasi ini adalah “temukan rahasia kesaktian Ki Ageng Mangir dan musnahkan!”
Dan sebagaimana yang kemudian tercatat dalam cerita-cerita, terpesonalah Ki Ageng Mangir pada Sekar Pembayun. Merekapun menikah. Dan betapa terpukulnya ketika Ki Ageng Mangir mendengar pengakuan Sekar Pembayun, bahwa dia tak lain adalah anak Panembahan Senopati, musuh bebuyutannya. Apa boleh buat, janji perkawinan telah diucapkan, pertalian darah telah ditorehkan. Kini dia menjadi menantu dari musuhnya.
Atas bujukan Pembayun, Ki Ageng Mangir menghadap Panembahan Senopati. Sepanjang perjalanan, kebimbangan menggelayut di benak Ki Ageng Mangir. Panembahan Senopati telah menjadi mertuanya. Tetapi dirinya selama ini mengambil posisi berseberangan dengan raja Mataram itu. Apakah dia akan diterima sebagai menantu ataukah musuh? Seakan Ki Ageng Mangir telah mencium takdir yang menantinya di singgasana Sang Raja.
Maka bertemulah dua seteru yg telah terikat pertalian darah ini. Sebagai menantu yang baik, Ki Ageng Mangir telah melepas seluruh senjata yang dibawanya. Ternyata benar kata Pembayun, Sang Raja menerima menantunya dengan ramah dan kasih sayang. Maka dia mengambil posisi bersimpuh dan bersiap menyembah kepada Panembahan Senopati sebagai tanda penghormatan. Hening. Helaan nafas seperti tertahan dalam kilatan waktu yang tiba-tiba melambat seperti berbulan-bulan lamanya.
Ketika kepala Ki Ageng Mangir hampir menyentuh lantai, secara tiba-tiba Panembahan Senopati dengan gerakan tak terduga meraih dan membenturkannya ke Watu Gilang yang menjadi singgasananya. Sebuah dendam politik dituntaskan. Tewaslah Ki Ageng Mangir di tangan sang mertua seiring lengking tangis Ratu Pembayun.
Apakah Pembayun benar-benar mencintai Ki Ageng Mangir?
Apakah yang ada dalam pikiran Panembahan Senopati saat melihat kepala Ki Ageng Mangir begitu dekat dengan singgasananya?
Sejarah tak pernah mencatat dengan baik hal-hal yang ada pada level perasaan seperti itu. Tapi cerita tentang kekuasaan memang sulit dihindarkan dari pengorbanan.
***
Makam Ki Ageng Mangir sendiri dibuat separuh di dalam pagar kompleks makam dan separuhnya lagi di luar pagar. Sungguh suatu perlambang ambigu: separuh musuh separuh keluarga. Tapi juga mencerminkan sisi kelam jiwa manusia yang memiliki dendam begitu besar, bahkan setelah musuhnya mati.

PERANG RANTAI EMAS
Ketika terjadi tragedi berdarah antara Kerajaan Majapahit dan Demak sekitar th. 1478 M, dan pihak Majapahit yang mengalami kekalahan, maka keluarga besar Brawijaya V saling melarikan diri untuk meneyelamatkan jiwanya dari kejaran prajurit demak, dan salah satunya gugur putra menantunya yaitu Joko Sengoro. Salah satu anaknya adalah Joko Balut yang melarikan diri ke arah Barat sampai menetap di Gunung Kidul. Barangkali dan kemungkinan Joko Balutlah yang mungkin membawa salah satu pusaka kerajaan yang bernama Baru Klinting yang cukup ampuh dan tinggi daya supranaturalnya serta ujung tombaknya yang mengandung racun yang sangat berbisa. Pada saat tinggal di Gunung Kidul ia mempunyai keturunan yang bernama Angabaya I. Setelah Panembahan senopati berkuasa di Mataram sekitar Th. 1579 M, ada dua gerakan separatis yang satu dipimpimpin oleh Ki Gede Wanakusuma yang berkuasa di Tlatah Giring dan sebelah Barat dipimpin oleh Angabaya III. Untuk menumpas pembrontak dari Ki Gede Wanakusuma Panembahan Senopati ibarat berlayar sekali mengayuh mendapat dua pulau, yaitu bisa membunuh Wanakusuma, bekas kakak iparnya dan membunuh mantan istrinya yaitu rara lembayung yang melaggar sumpah. Konon demi wahyu keraton saat Panembahan Senopati belum menjadi raja masih bernama Danang sutawijaya ia memperistri Rara lembayung. Berhubung rara Lembayung wajahnya tidak cantik maka dicerai oleh Panembahan Senopati dalam keadaan hamil. Keduanya antara Lembayung dan Wanakusuma adalah sama sama putra dari Kiageng Giring III, atau Raden Mas Kertanadi. Panembahan Senopati memberi wasiat pada istrinya bila kelak jabang bayi lahir jangan sampai memberitahu siapa ayahnya, dengan meninggalkan sebilah keris tanpa sarung. Hal ini disanggupi oleh Rara Lembayung. Namun apa boleh buat setelah bayi lahir laki laki dan diberi nama Joko Umbaran dalam usia 20 tahun ia mendesak pada ibunya terus menerus untuk memberitahu siapa ayahnya. Singkat cerita setelah ditunjukan ayahnya, lalu ia mencari ayah dengan melalui perjuangan yang sangat berat. Setelah bertemu dengan ayahnya, Panembahan Senopati bersedia menerima sebagai anak asal bisa mencari sarung keris yang dibawa oleh Joko Umbaran atas pemberian dari ibunya yang bernama kayu purwosari. Hal ini adalah perintah sibolis yang artinya Joko Umbaran harus bisa membunuh Wanakusuma dan ibunya rara lembayung, yang melanggar janji.
Setelah berhasil Joko Umbara diakui sebagai anak dan diberi kedudukan oleh Panembahan Senopati sebagai Senopati Perang Mataram dan bergelar Pangeran Purboyo.
Lain halnya dengan Panembahan Senopati dalam hal menumpas pembrontakan yang dipimpin oleh Angabaya III menggunakan taktik PERANG RANTAI EMAS.
Alasan menggunakan Perang Rantai Emas ada 3 macam yaitu :
1. Apabila diserang menggunakan secara militer secara be-
sar besaran akan menghabiskan keuangan Mataram.
2. Apabila diserang secara militer secara besar besaran
akan jatuh korban yang cukup banyak, karena Angaba
ya III adalah musuh yang sulit untuk ditumpas.
3. Kalau diserang secara prajurit secara besar besaran
Angabaya III bukan levelnya.
Angabaya III bukan levelnya ( isitilah jawa Menang
ora kondang kalah wirang ).
Setelah pertempuran menggunakan perang rantai emas melalui jebakan perkawinan yang sukses antara Dewi Pembayun ( Dewi Retningrum ) dan Angabaya III, maka terkejutlah Angabaya III setelah tahu istri yang sedang mengandung adalah anak musuh bebuyutannya, dan diajak sowan ke Mataram.
Namun apadaya Angabaya III ibarat orang yang memakan buah Simala Kama, dimakan akan menemui nasib yang tragis dan tidak dimakanpun Angabaya III dalam perkawinannya dengan Pembayun sudah dukepung dengan prajurit pendem dari Mataram.
Dengan keberangkatannya Angabaya III dan Istri serta diiringi beberapa prajurit menuju Mataram diiringi tangis dan air mata oleh keluarga dan kerabatnya serta diberi nasehat agar berhati hati apabila sudah tiba di Mataram.
Memang telah menjadi kenyataan setelah tiba di luar keraton Angabaya III sudah dihadang oleh prajurit Mataram yang dipimpin oleh salah seorang Tumenggung yang sama sama ingin memperistri Dewi Pembayun.
Dasar Angabaya III seorang berjiwa prajurit orangnya cakap, ahli ilmu kanuragan dan mungkin punya ilmu kekebalan tubuh, maka terjadilah pertempuran yang tidak seimabang. Angabaya III berhadapan dengan seorang Tumenggung yang memimpin
pertempuran dan Tumenggung tersebut mati ditangan Angabaya III. Dengan luka yang sangat parah dan berjalan sempoyongan Angabaya III menjatuhkan diri dihadapan Sang Mertua Panembahan Senopati. Persoalan ia mati dibenturkan kepalanya di watu Gilang atau dengan cara lain itu walauhualam.
Tapi ada cerita lain dimana Panembahan Senopati memanggil Demang Tapanangkil untuk membawa jenasahnya keluar keraton. Jadi kalau kuburan Angabaya III yang ada di KOta Gede, separo didalam dan separo diluar itu sungguhan atau tidak kami ngga tahu.
Setelah Pembayun menjadi janda, ia hidup sebagai putri triman yang artinya hidup di luar keraton dan dalam keadaan hamil ia dikawinkan dengan Tumenggung Teposono putra Ki Ageng Karang Elo. Tumenggung Teposono setelah menjadi menantu Panembahan Senopati diberi wasiat agar kelak bayi lahir untuk dibunuh supaya tidak menjadi duri dalam daging untuk masa depan kerajaan Mataram. Setelah Pembayun melahirkan jabang bayi laki laki ibunya langsung meninggal dunia ( Sedo Konduran ), dan Ki Ageng Lo tidak tega untuk membunuh bayi yang tidak berdosa.
Maka bayi tersebut dibawa oleh Ki Ageng ke arah Barat sampai ke Tlatah Banyumas ( Kebumen ) dan diberi nama MADUSENO, sedang yang dikubur adalah ari arinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar